JAM-Pidum Terapkan 3 Restorative Justice, Salah Satunya Perkara Pencurian Handphone di Minahasa

JAM-Pidum Terapkan 3 Restorative Justice, Salah Satunya Perkara Pencurian Handphone di Minahasa

Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 3 (tiga) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Senin, 9 Desember 2024.

Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Winda Wakulu dari Kejaksaan Negeri Minahasa, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

Kronologi bermula pada hari Senin tanggal 15 Juli 2024 sekitar pukul 17.00 WITA di TK Kemala Bhayangkari 03, Kelurahan Tounkuramber, Kecamatan Tondano Barat, Kabupaten Minahasa. Pada awalnya, Saksi Korban Jemima Suatan bersama dengan cucu Saksi Korban telah selesai menghadiri acara serah terima kepala sekolah TK Kemala Bhayangkari. 

Ketika ingin pulang, Saksi Korban menunggu jemputan di ruangan kelas B3 dan cucu Saksi korban meminjak handphone miliknya di depan ruangan kepala sekolah. Kemudian, setelah Tersangka sampai di sekolah, ia langsung menuju kelas B3 dan melihat sebuah handphone merek Vivo V2043 berwarna biru yang dibungkus dengan case berwarna hitam yang digunakan oleh cucu Saksi Korban. 

Tersangka mengajak bunda yang ada di kelas B3 untuk berbincang. Lalu, salah satu bunda meminta Tersangka untuk meminjamkan bolpoin kepada Saksi Korban. Setelahnya, Tersangka pergi ke kamar mandi dan saat kembali, ia melihat handphone merek Vivo V2043 berwarna biru yang dibungkus dengan case berwarna hitam terletak di kursi depan kelas B3.

Kemudian dengan menggunakan tangan kanan, Tersangka mengambil 1 (satu) unit handphone merek Vivo V2043 berwarna biru Imei 1 (864577054085370), Imei 2 (864577054085362) nomor versi PD2036DF_EX_A_6.16.12 tersebut dan langsung mematikannya kemudian memasukkannya ke dalam tas Tersangka lalu kembali memasuki ruangan kelas B3.

Tersangka tidak langsung menggunakan handphone tersebut, melainkan mendiamkannya dan baru menggunakannya di bulan September. Akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh Tersangka, Saksi Korban mengalami kerugian senilai Rp3.500.000 (tiga juta lima ratus ribu rupiah).

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Minahasa B. Hermanto, S.H, M.H dan Kasi Pidum Natalia Katimpali, S.H. serta Jaksa Fasilitator Ollivia L. Pangemanan, S.H., Azalea Z. Baidlowi, S.H., dan Hiero E. B. Lasut, S.H menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.

Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Korban. Setelah itu, Saksi Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan tanpa syarat.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Minahasa mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara Dr. Andi Muhammad Taufik, S.H, M.H, CGCAE.

Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Senin, 9 Desember 2024.

Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 2 perkara lain yaitu:

Tersangka Bento Musa Kamengon dari Kejaksaan Negeri Alor, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

Tersangka Federikus Gula Krowin alias Fredi alias Keku dari Kejaksaan Negeri Sikka, yang disangka melanggar Pasal 406 Ayat (1) KUHP tentang Pencurian.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;

Tersangka belum pernah dihukum;

Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;

Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;

Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;

Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;

Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;

Pertimbangan sosiologis;

Masyarakat merespon positif.

“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum

Bagikan tautan ini

Mendengarkan

Berita Nasional


Berita Lainnya