Beri Kuliah Umum di FH Unhas JAMPIDUM Penegakan Hukum Pidana Harus Bergeser dari Retributif ke Filosofi Utilitas

Beri Kuliah Umum di FH Unhas JAMPIDUM Penegakan Hukum Pidana Harus Bergeser dari Retributif ke Filosofi Utilitas

KEJATI SULSEL, Makassar– Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAMPIDUM) Kejaksaan RI, Prof. Asep N. Mulyana, menggelar Kuliah Umum (Studium Generale) di hadapan dosen dan ratusan mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Hasanuddin (Unhas) hari ini, Kamis, 20 November 2025. Acara yang bertempat di Baruga Baharuddin Lopa ini mengangkat tema strategis mengenai Arah Kebijakan Penegakan Hukum Pidana dan Political Will Pemerintah.

Dekan Fakultas Hukum Unhas, Prof. Hamzah Halim, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi tinggi atas kehadiran JAMPIDUM. Termasuk kepada Kajati Sulsel, Dr Didik Farkhan Alisyahdi yang hadir mendampingi JAMPIDUM.

"Kami mengucapkan selamat datang dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak JAMPIDUM Prof. Asep N. Mulyana. Kehadiran beliau hari ini adalah kehormatan besar dan menjadi penanda penting sinergi antara akademisi dan praktisi penegak hukum. Materi mengenai reformasi hukum pidana dan konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA) sangat relevan bagi mahasiswa kami, sebagai calon arsitek hukum masa depan bangsa," ujar Prof. Hamzah Halim saat membuka acara.

Dalam paparannya, Prof. Dr. Asep N. Mulyana menjelaskan bahwa Indonesia memasuki era di mana penegakan hukum pidana harus lebih adaptif dan responsif terhadap dinamika sosial dan ekonomi, terutama menyambut berlakunya KUHAP 2025.

JAMPIDUM menyoroti pergeseran fundamental dalam filosofi penuntutan:
* Bergeser dari Retributif ke Utilitas: Hukum tidak boleh lagi semata-mata didasarkan pada filosofi Retributif (balas dendam, penderitaan, dan aspek kuantitas/hukuman penjara). Penegakan hukum harus mengadopsi filosofi Utilitas, yang mengutamakan Kepastian, Keadilan, Kemanfaatan, Kesejahteraan, dan Kedamaian masyarakat, serta berorientasi pada aspek kualitas (outcome).
* Hukum sebagai Instrumen Kesejahteraan: Proses hukum harus memperhatikan input, output, dan outcome (dampak). Fungsi hukum ditujukan untuk social order dan social welfare, yang berarti hukum harus menjadi instrumen untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Asep N. Mulyana secara khusus memperkenalkan konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA) sebagai model sistem penuntutan modern, khususnya untuk kejahatan berbasis ekonomi. DPA merupakan perjanjian yang memungkinkan pelaku kejahatan ekonomi untuk:
* Mengakui kesalahan (Plea Guilty).
* Berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
* Mengikuti syarat yang ditentukan.
* Mengembalikan hasil kejahatan dan membayar denda (Monetary and Non Monetary Sanctions).

Selain itu, JAMPIDUM juga menekankan pentingnya Responsif Regulation (RR). Konsep ini mengajarkan bahwa tidak semua pelanggaran harus diproses ke pengadilan. RR menitikberatkan pada perbaikan pelaku tanpa harus melalui penuntutan dan penghukuman, sepanjang track record pelaku mendukung.

"Prinsip Cost & Benefit harus menjadi pertimbangan, di mana implikasi positif harus diraih terhadap tujuan sosial. Kejaksaan saat ini berkomitmen untuk menjaga keharmonisan para pihak terkait dalam proses hukum," tutup Asep Nana Mulyana.

Kuliah umum ini disambut antusias oleh dosen dan mahasiswa FH Unhas, menunjukkan tingginya minat civitas academica terhadap reformasi penegakan hukum di Indonesia.

Bagikan tautan ini

Mendengarkan