Berawal dari Knalpot Bising Kejati Sulsel Hentikan Kasus Penganiayaan di Enrekang Melalui Jalur Keadilan Restoratif
KEJATI SULSEL, Makasar-- Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Robert M Tacoy bersama Aspidum, Rizal Syah Nyaman, Koordinator Koko Erwinto Danarko dan jajaran Pidum melakukan ekspose penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (Restorative Justice/RJ) dari Kejari Enrekang di Kejati Sulsel, Rabu (22/10/2025).
Ekspose perkara RJ ini juga diikuti oleh Kajari Enrekang, Padeli, Kasi Pidum Andi Dharman Koro, Jaksa Fasilitator dan jajaran secara virtual dari Kejari Enrekang.
Kejaksaan Negeri Enrekang mengajukan penuntutan perkara tindak pidana penganiayaan yang melanggar Pasal 170 Ayat (1) KUHP atau Pasal 351 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana melalui pendekatan Restorative Justice (Keadilan Restoratif). Melibatkan 4 tersangka, MIW (seorang Mahasiswa berusia 22 tahun), MHA (pengangguran berusia 18 tahun), MS (buruh harian berusia 23 tahun) dan MRS (karyawan swasta berusia 26 tahun) terhadap korban MA, berusia 25 tahun dan juga berstatus Pelajar/Mahasiswa.
Peristiwa pidana ini terjadi pada bulan Agustus hingga 1 September 2025. Kasus berawal dari ketersinggungan saat Tersangka MIW, yang tengah melakukan pengecoran jalan, menegur Korban yang melintas di daerah Bampu, Enrekang, dengan menggunakan knalpot bising (brong).
Teguran tersebut memicu emosi Korban setelah Tersangka MIW melempar sandal ke arahnya. Korban kemudian mengirimkan voicenote bernada tantangan dengan perkataan, “TIDAK ADA ORANG BAMPU KUTAKUTI”. Merasa kesal dan tertantang, Tersangka MIW bersama tiga tersangka lainnya mencari Korban. Pada 1 September 2025 malam, Tersangka MIW Bersama 3 tersangka lainnya menemukan Korban dan langsung melakukan penganiayaan dengan memukul pipi kanan dan pipi kiri Korban masing-masing satu kali, serta menendang paha bagian belakang Korban sebanyak tiga kali, sebelum dilanjutkan oleh penganiayaan dari saksi-saksi lainnya. Akibat perbuatan tersebut, Korban mengalami luka memar pada mata kanan dan kiri serta luka lecet tekan pada kaki kanan.
Penghentian penuntutan melalui Restorative Justice ini didasarkan pada terpenuhinya syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: 01/E/EJP/02/2022. Beberapa pertimbangan utama adalah:
1. Tersangka merupakan pelaku tindak pidana pertama kali (bukan residivis), yang dibuktikan melalui penelusuran SIPP.
2. Telah adanya perdamaian antara Korban dan para Tersangka yang diinisiasi oleh keluarga Korban.
3. Kedua belah pihak telah saling memaafkan dan sepakat untuk berdamai tanpa syarat apapun.
4. Proses perdamaian mendapat dukungan dan respons positif dari masyarakat sekitar.
5. Seluruh luka yang dialami Korban telah pulih.
Wakajati Sulsel, Robert M Tacoy menegaskan bahwa keputusan ini merupakan wujud komitmen Kejaksaan dalam mengedepankan keadilan yang menyentuh hati nurani.
“Penyelesaian perkara ini menegaskan komitmen Kejaksaan dalam menerapkan prinsip keadilan restorative. Dengan memfasilitasi pemulihan hubungan sosial antara Korban dan Tersangka, sehingga perkara dapat diselesaikan secara kekeluargaan di luar pengadilan," kata Robert M Tacoy.
Setelah proses RJ disetujui, Wakajati Sulsel meminta jajaran Kejari Enrekang untuk segera menyelesaikan seluruh administrasi perkara dan tersangka segera dibebaskan. Selanjutnya 4 tersangka diwajibkan menjalani sanksi sosial dengan membersihkan rumah ibadah di lingkungan tempat tinggalnya.
"Saya berharap penyelesaian perkara zero transaksional untuk menjaga kepercayaan pimpinan dan publik,” pesan Robert M Tacoy.